Monday, December 9, 2013


PENGALAMAN HIDUP KELUARGA MASA KINI DAN
MASA KOLONIAL MEMBUAT BAGAIMANA BIJAKSANANYA SESEORANG


Makalah
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pengantar Ilmu Sejarah
yang dibina oleh Ibu Indah W.P. Utami S.Pd M.Hum, M.Pd.



Oleh:
Miftakhul Khassanah
130731615748










UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
November 2013



DAFTAR ISI

Halaman









BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan bagian terpenting, tempat pertama dan paling utama untuk belajar, mengerti kasih sayang, memahami peran, dan mengerti dirinya sendiri. Keluarga pertama kali membentuk bagaimana kita saat ini. Keluarga juga membentuk karakter kita, pandangan hidup kita. Tirtarahardja (2005:167) mengatakan Keluarga merupakan tempat mula-mula tapi terpenting dalam lingkungan pendidikan. Selain itu, Tirtarahardja (2005:168) juga menuliskan “keluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena hubungan semenda dan sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nucleus family: ayah, ibu, dan anak), ataupun keluarga yang diperluas (disamping inti, ada orang lain: kakek/nenek, adik/ipar, pembantu, dll.)”.
Menurut KBBI  Keluarga adalah  ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah:  orang seisi rumah yg menjadi tanggungan; batih: (kaum -- ) sanak saudara; kaum kerabat: satuan kekerabatan yg sangat mendasar di masyarakat. Namun, banyak orang melupakan sejarah keluarganya sendiri. Mengingat pentingnya keluarga dan pentingnya mengetahui sejarah keluarga, untuk itu setiap insan manusia sebaiknya mengetahui bagaimana sejarah keluarganya. Banyak manfaat mengetahui sejarah keluarga. Misalnya saja seandainya kita tidak tahu sejarah keluarga, tidak tahu siapa saudara kita. Saat kita bertemu dengan seseorang dan jatuh cinta kepadanya tanpa mengetahui sejarah keluarganya. Tapi ternyata dia masih saudara kita. Bagaimana kelanjutanya kalau sudah terlanjur menikah? Dari gambaran cerita diatas itu hanya satu gambaran pentingnya mengetahui sejarah keluarga dari silsilah. Selain itu masih banyak lagi manfaat mengetahui historiografi keluarga. Dari historiografi keluarga, kita akan dapat memahami peristiwa masa lampau yang dialami keluarga kita, mengambil pelajaran dari pengalaman itu dan menajdikan pelajaran bagi kita dan semua orang.
            Banyak fungsi, kejadian, peristiwa yang terjadi pada seseorang terutama penulis yang berasal dari keluarga. Fungsi keluarga sendiri adalah tempat pertama dan paling utama menerima dan memberi kasih sayang, perhatian, mengerti bagaimana hidup, dll. Keluarga berpengaruh besar terhadap bagaimana kita, bagaimana karakter kita, pandangan hidup kita, bagaimana cara sosialisasi kita, bagaimana mengerti agama. Meskipun banyak sekali fungsi sejarah keluarga, masih banyak yang belum mengenal sejarah dari keluarganya. Apalagi sampai menulis sejarah keluarga. Banyak siswa mengetahui sejarah nasional, sejarah lokal tapi malah tidak tahu sejarah keluarganya.
            Banyak manfaat dari penulisan sejarah keluarga, diantaranya kita dapat belajar dari pengalaman keluarga kita. Banyak mengetahui peristiwa yang tidak akan terjadi pada masa kita. Kita dapat lebih bijaksana dengan memandang keluarga dan peristiwa. Dengan mengetahui peristiwa-peristiwa dalam keluarga, kita akan dapat menarik kesimpulan yang akan dijadikan pandangan dalam menjalani kehidupan.

1.2 Rumusan Masalah

            Berikut adalah rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini:
1.        Bagaimana silsilah keluarga penulis?
2.        Bagaimana pengalaman nenek dan saudaranya penulis dalam menjalani hidup pada masa kolonial di Blora?
3.        Bagaiman perjalanan hidup keluarga inti penulis?

 

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.        Mengetahui silsilah keluarga.
2.        Mengetahui pengalaman nenek dan saudaranya dalam menjalani hidup pada masa kolonial di Blora.
3.        Mengetahui perjalanan hidup keluarga inti penulis.



BAB II

PEMBAHASAN

            Dalam buku metododologi sejarah yang ditulis oleh Sjamsuddin (1996) menuliskan metode tersebut terdiri heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Namun dalam bukunya juga yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah (1996) langkah pertama adalah pemilihan subjek untuk diteliti atau dikaji. Heuristik adalah pencarian  sumber. Sebelum pencarian sumber, sejarawan haruslah menetapkan topik atau masalah untuk penelitianya.
Penulisan Historiografi sejarah keluarga ini mungkin belum lengkap. Karena pencarian sumber data atau informasi (heuristik) yang didapat terbatas hanya dari ibu saya (Suti), nenek Tariyem, nenek Masri dan nenek Trimah (adik ipar kakek Citro Kito), dan bapak Ngatmin. Pencarian sumber atau heuristik pertama kali dilakukan dengan bertanya pada ibu saya (Suti), namun karena keterbatasan informasi ibu saya mengenai nama-nama dan keterangan, akhirnya saya dianjurkan bertanya kepada nenek Trimah, nenek Tariyem, dan nenek Masri ikut juga bercerita saat saya sedang berbicara dengan nenek Tariyem.
Kritik terhadap sumber informasi dilakukan dengan cara membandingkan cerita-cerita dari sumber informasi (ibu Suti, nenek Trimah, nenek Tariyem, nenek Masri) dengan pengetahuan penulis dari pelajaran sejarah yang sudah didapat. Selain itu, penulis juga mencari informasi dari internet. Kemudian penulis melakukan interpretasi terhadap informasi yang didapat, menafsirkan cerita-cerita yang diungkapkan sumber. Selanjutnya adalah historiografi atau yang disebut penulisan. Penulisan makalah ini terdiri dari bab 1 pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan. Latar belakang terdiri dari pengertian keluarga, pentingnya keluarga dan pentingnya mengetahui dan menuliskjan sejarah keluarga. Dalam bab 2 berisi silsilah keluarga penulis, pengalaman keluarga penulis dalam menjalani hidup masa kolonial Belanda, dan perjalanan hidup keluarga inti penulis. Dan bab 3 penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.


2.1 Silsilah Keluarga

Seperti diungkapkan diatas, data mengenai silsilah keluarga mungkin masih belum lengkap. Hanya didapat sedikit informasi dari canggah dan mungkin lumayan lengkap generasi buyut sampai saya. Nama canggah pun ada yang masih belum diketahui, ada yang hanya diketahui nama panggilan saja. Nama asli mudah dilupakan oleh masyarakat desa Sendangwates karena kebiasaan memanggil tidak dengan nama asli, tapi dengan nama panggilan sesuai dengan ciri khas yang dimiliki. Misalnya, Mbah Putih (canggah saya dari ayah) dipanggil Mbah Putih dikarenakan rambutnya yang hampir seluruhnya berwarna putih. Dan dengan memanggil nama dari anak pertamanya. Seperti misalnya ayah saya yang nama aslinya Ngatmin atau Ahmad Zulqoni dimasyarakat dipanggil Pak Um karena anak pertama ayah yaitu kakak saya bernama Um.
Berikut adalah gambar silsilah keluarga berdasarkan patrilinial:
Rounded Rectangle: Warijah & Mujayin
Diatas adalah gambar silsilah keluarga dari ayah saya. Tariyem dan Samejo mempunyai lima orang anak. Salah satunya adalah Tarban. Tarban menikah dengan Warijah dan mempunyai dua orang anak yang bernama Tarmo dan Masri. Kemudian Tarban meninggal, dan sepeninggalanya Tarban menyebabkan Warijah menikah lagi dengan seorang yang bernama Mujayin. Pernikahan Warijah dengan Mujayin dikaruniai tiga orang anak yang bernama Suliyem, Mini, dan Sulemi.
Kakek Tarmo menikah dengan nenek Tariyem mempunyai empat orang anak. Salah satunya yaitu ayah saya sebagai anak pertama yang bernama Ngatmin lahir pada 25 Agustus 1969. Namun setelah masuk disebuah pondok nama ayah saya diganti menjadi Ahmad Zulqoni. Karena sudah menjadi kebiasaan kalau masuk pondok dan menjadi santri tetap, maka biasanya nama yang sebelumnya tidak berbau islami akan diganti atau ditambah dengan nama islami. Ayah saya lahir pada tanggal 25 Agustus 1969. Selanjutnya Nyami adik perempuan pertama dari ayah saya lahir dan Ngatman adik kedua ayah saya (adik laki-laki pertama ayah saya) dan yang terakhir Sarmi adik bungsu ayah saya. Namun adik bungsu ayah saya sekarang sudah meninggal saat usianya yang masih muda. Nenek Tariyem ditinggal kakek Tarmo dalam usia yang masih belum tua. Namun nenek Tariyem tetap setia sama kakek Tarmo walaupun sudah ditinggal lama. Buktinya sampai sekarang nenek Tariyem belum menikah lagi. Dari kehidupan nenek mengajarkan saya untuk hidup setia walaupun tidak ada orang yang mencukupi hidupnya.














Silsilah keluarga berdasarkan sistem matrilinial:























Buyut Jamin dan buyut Mariyem mempunyai tujuh orang anak seperti gambar silsilah diatas. Hanya nenek Kuswati yang sampai sekarang masih hidup di desa Kedung Waru Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora. Kakek buyut Jamin mempunyai dua istri, namun istri yang pertama belum didapatkan informasi mengenai namanya. Istri yang kedua bernama Mariyem. Mariyem sendiri adalah anak dari canggah Pilah. Kakek buyut Jamin dengan istri yang pertama mempunyai empat orang anak yaitu Sukini, Pini, Kuswati dan Kerji. Dan kakek buyut Jamin dengan istri yang kedua (Mariyem) mempunyai tiga orang anak yaitu salah satunya adalah nenek saya (Suratno, Lamijan, Kustini). Kakek buyut Jamin berbeda dengan kakek buyut Tarban. Kakek buyut Tarban mempunyai istri kedua karena ditinggal mati Warijah, berbeda dengan kakek buyut Jamin. Beliau menikah lagi karena kekuasaanya sebagai Lurah. Berdasarkan cerita Ibu dan Bapak, buyut Jamin saat menjadi Lurah memerintah dengan semaunya. Cerita ini juga pernah saya dengar waktu saya masih SMA dari cerita ibu-ibu (Istri kakek Marno) yang sedang berkumpul di rumah saya.
Inti perkataan istri kakek Marno setidaknya begini “semua kehidupan nenek dan keturunanya tidak akan sesusah ini kalau dulu kakek Jamin tidak suka main perempuan dan menjadi Lurah yang bijaksana”. Namun Ibu tidak pernah menyalahkan buyut Jamin karena beliau menganggap semua ini adalah kehidupan dan jalan dari Allah. Kehidupan seperti roda berputar, kadang kita diatas kadang juga kita dibawah. Ayah pun yakin kalau beliau dapat memenuhi hidup kami sekeluarga walaupun dengan hidup yang sederhana. Itulah prinsip yang selalu diajarkan orang tua saya kepada kakak dan juga saya.

2.2 Pengalaman Nenek Dan Saudaranya Dalam Menjalani Hidup Pada Masa Kolonial di Blora

            Pengalaman keluarga Kakek Citro Kito dan nenek Kustini beserta saudaranya (Suratno dan Lamijan) dalam menjalani hidup masa kolonial Belanda sangatlah sulit dan penuh dengan tantangan. Begitu juga yang dialami oleh keluarga nenek Tariyem dan saudara-saudara yang lainya. Sumber informasi mengenai pengalaman keluarga nenek Kustini masa Belanda saya dapatkan dari nenek Trimah. Awalnya saya bertanya kepada Ibu saya, tapi kemudian saya disarankan untuk bertanya kepada Nenek Trimah. Karena beliau adalah saudara sekaligus hidup sezaman dengan kakek dan nenek. Nenek Trimah adalah saudara dari kakek Citro Kito. Dan kehidupan nenek Tariyem masa kolonial saya tanya langsung kepada beliau, yang kemudian nenek Masri (saudara nenek Tariyem) kadang menyambung cerita. Semua keluarga saya adalah asli Blora. Pada waktu melawan Belanda nenek dan saudaranya berdomisili di Blora. Kita tahu bahwa Blora terkenal dengan suku Saminnya. Sebagaimana diketahui orang Blora bahkan orang diluar Blora mengatakan Samin didirikan oleh Samin Surosentiko untuk melawan Kolonialisme yang ada di Blora. Berdasarkan cerita masyarakat Blora dan juga diungkapkan sebagian oleh  nenek Trimah, suku Samin mempunyai ajaran aja drengki srei, tukar padu, dahwen kemeren, kutil jumput, lan mbedhog colong. Artinya, jangan berhati jahat, bertengkar, iri hati, dan mencuri. Pokok ajaran samin berdasarka cerita nenek saya adalah tidak mau membayar pajak kepada Belanda. Yang dilakukan dengan cara menyembunyikan hasil panen kedalam tanah dan tempat tertentu yang dirasa aman.
Ajaran Samin dalam menghadapi Belanda ada juga yang dilakukan dengan pura-pura gila supaya tidak disuruh kerja paksa Belanda. Sebagaimana dalam cerita Ibu saya saat menceritakan kakek Lamijan. Usaha nenek saya dan saudaranya dalam menghindari belanda menyebabkan Suratno, Lamijan, dan Kustini berpisah untuk mencari kehidupan yang aman sendiri-sendiri. Suratno masih tinggal ditempat asal yaitu ditempat kalahiranya (Blora). Namun Lamijan pergi melalang buana karena dikejar-kejar Belanda dan tidak mau berhadapan dengan Belanda, tidak mau kerja paksa. Lamijan pergi ke Lamongan. Kemudian dalam masa pelarianya, pernah juga sampai ke Todanan dan diangkat anak oleh warga setempat. Kakek Lamijan menurut cerita ibu saya pernah juga pulang tanpa berpakaian pada kala itu (penjajahan Belanda).
            Kakek Lamijan kembali lagi ke Lamongan dan mempunyai istri disana bernama Khotidjah. Dari pernikahanya itu dikaruniai enam orang anak yang bernama Nur Khotib, Zaini, Bambang, Edi, Endang, dan Hartini. Kakek Lamijan meninggal tahun 2006 dan dimakamkan di daerah Paciran, Lamongan.
            Nenek Kustini dengan kakek Citro Kito menikah dan mempunyai tujuh orang anak. Tujuh orang anak itu diantaranya adalah ibu saya. Tujuh anak tersebut adalah Tinah, Yatmin, Saji, Saidi, Rasmi, Seti, dan Suti (ibu saya). Suti merupakan anak terakhir dari Kustini dan Citro kito. Menurut Kartu Keluarga, Suti lahir di Blora, 28 Mei 1975.
            Usaha hidup pada masa kolonial tidaklah mudah. Berdasarkan cerita Ibu saya dari nenek Kustini dahulu sebelum meninggal untuk dapat makan tidaklah mudah. Hampir tiap saat Belanda meggledahi rumah-rumah untuk mengambil sumber makanan. Sumber makanan tersebut biasanya hasil panen. Hal serupa juga diungkapkan oleh nenek Tariyem dan juga nenek Trimah. Untuk menyembunyikan hasil panen dari Belanda mereka biasanya menimbun hasil panen kedalam tanah atau tempat yang dirasa aman. Dengan konsekuensi kalau ketahuan Belanda, siap untuk dihukum bahkan dibunuh kalau tidak mau menyerahkan upeti kepada Belanda. Hidup mereka serba kekurangan dan makan seadanya. Karena jumlah anak yang banyak mau tidak mau nenek selau membagi-bagi makanan supaya kebagi rata.

2.3 Perjalanan Hidup Keluarga Inti Penulis

           
Diatas adalah silsilah keluarga inti saya, Pada hari Selasa tanggal 15 Pebruari 1992 ayah dan ibu menikah pukul 18.00 dengan wali nikah Bapak Nasab. Meskipun hanya dengan mas kawin Rp 1000,00 pernikahan orang tua saya masih langgeng dan harmonis sampai sekarang. Karena cinta mereka karena Allah, bukan karena semata-mata uang. Pernikahan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah sebagaimana terlampir buku nikah dalam lampiran. Ayah dan ibu melahirkan kakak pada 08 Agustus 1994. Dan melahirkan saya pada tanggal 10 Maret 1996 sebagaimana terlampir dalam Akta Kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk. Berdasarkan cerita ibu saya, sungguh pengorbanan ibu saya yang laur biasa karena dalam mengandung saya, kakak masih rewel. Selain itu, ibu juga sering diejek sama tetangga saat mengandung saya yang lama dalam kandungan, yaitu sekitar 10 Bulan. Tidak berhenti sampai melahirkan saja, dalam merawat dan membesarkan kakak dan saya, kadang ibu kesusahan karena tidak ada yang membantu, karena ayah pergi merantau mencari uang untuk biaya hidup kami.
            Kerja keras terus berlanjut sampai sekarang. Itu yang membuat saya tidak suka boros dan rajin menabung karena melihat betapa susahnya ayah untu mencari uang untuk hidup kami. Ayah dan ibu sekarang kedua-duanya bekerja sebagai petani. Berkat perantauan ayah, kami dapat membeli sawah untuk kehidupan sehari-hari. Sehingga ayah tidak perlu untuk merantau jauh dari keluarga. Karena desakan ekonomi ayah dan ibu saya tidak dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, sekaligus pada zaman itu orang tua lebih menekankan ilmu agama. Jadi ayah disuruh mondok di sebuah pesantren. Berdasarkan Kartu Keluarga ayah saya lulusan SMP dan ibu saya lulusan SD. Walaupun orang tua saya tidak dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, beliau berharap anaknya dapat mengenyam pendidikan sampai sarjana. Untuk itu, beliau menyekolahkan saya yang saat ini masih sebagai Mahasiswa Universitas Negeri Malang, Fakultas Ilmu Sosial, Prodi S1 pendidikan Sejarah.
                        Riwayat pendidikan saya adalah sebagai berikut:
·         SD N 1 SendangWates selama 6 tahun
·         SMP N 1 Kunduran selama 3 tahun
·         SMA N 1 Ngawen selama 3 tahun, di jurusan IPA sebagaimana terlampir dalam ajazah.
·         Dan sekarang menempuh kuliah di Universitas Negeri Malang, Fakultas Ilmu sosial, Prodi S1 Pendidikan Sejarah.
Di Malang ini, saya tinggal disebuah kontrakan kecil jauh sama keluarga dan saudara. Di sebuah jalan Sumbersari gang 6 no. 51. Sebuah keanehan memang karena waktu SMA saya masuk jurusan IPA tapi sekarang memilih Sejarah. Namun itu bukanlah pilihan yang salah. Karena dibalik itu, saya mulai menemukan hikmah dari kehendak Tuhan dan pilihan saya.
Pernah saya merasakan hari-hari yang penuh dengan pemandangan kesedihan dan tangisan. Saat kakak pertama kali ketahuan pacaran. Karena pada saat itu orang tua saya tidak megizinkan anak-anaknya mengenal pacaran, apalagi masih kelas tiga SMP. Sebagaimana ilmu yang diketahui ayah saya dari pondoknya dahulu hukum pacaran adalah tidak boleh. Tapi kakak yang sudah pacaran secara backstreet lumayan lama menyebabkan kakak tidak mau putus dengan pacarnya. Kakak yang saat itu masih kelas tiga SMP berpacaran dengan seorang yang berbeda usia 15 tahun dengan kakak dan masih pengangguran. Itu juga yang menyebabkan kedua orang tua saya tidak setuju. Hampir satu bulan kakak menjaga jarak dengan kami dan aktifitasnya hanya sekolah dan dikamar saja. Begitu juga Ibu yang tiap hari hanya merenung dengan mata kemerahan.
Sebuah keputusan yang begitu luar biasa dari nenek Tariyem yang menginginkan kakak langsung dinikahkan setelah lulus sekolah. Namun kedua orang tua saya masih keberatan dengan usulan nenek. Karena kedua orang tua saya menginginkan anak-anaknya sekolah dahulu supaya hidupnya tidak sesusah mereka. Perbedaan pendapat ini juga menyebabkan hubungan yang kurang harmonis antara nenek dan kedua orang tua saya. Entah apa yang menyebabkan ayah saya mulai berpikir mengenai pendapat nenek, yamg kemudian memutuskan menyetujui usul nenek.
Kakak Nur Azizatul Ummah menikah dengan pacarnya (Nur Sholikin) pada tahun 2009. Kehidupan yang dijalani kakak tidak sesuram seperti dalam bayangan Ibu saya. Pernikahan kakak mempunyai putri bernama Silva Mar’atus Sholikhah pada tanggal 18 Pebruari 2011sekitar jam 11 siang.
Dari kejadian itu membuat saya sekeluarga lebih mendekatkan diri kepada Allah. Membuat saya lebih dewasa. Belajar membantu mengerjakan pekerjaan rumah, yang awalnya tidak pernah saya lakukan. Karena biasanya yang melakukan adalah Ibu dan kakak saya. Saya juga berusaha tegar seperti halnya orang dewasa, mencoba menguatkan Ibu dan kakak saya. Mencoba mencari sebuah solusi yang terbaik untuk masalah keluarga ini. Hal ini pula yang menyebabkan kedua orang tua saya membolehkan saya berpacaran dengan syarat dengan usia yang sepantaran. Walaupun tidak dapat dipungkiri masalah ini juga berdampak dengan prestasi saya di sekolah.






BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Mengetahui sejarah keluarga sangatlah penting. Dari sejarah keluarga kita dapat mengetahui peristiwa pada zaman dahulu yang tidak akan pernah terjadi pada masa kita. Dengan mengetahui sejarah keluarga pula kita mendapatkan pengalaman. Dari pengalaman keluarga dapat dijadikan pelajran bagi kita. Dengan penulisan dapat juga bermanfaat bagi orang lain.
a)      Dari pengalaman hidup keluarga kakek, nenek dan saudaranya mengahadapi penjajahan Belanda mengajarkan saya untuk saling melindungi sesama keluarga dan bersabar dalam menjalani hidup.
b)       Pengalaman keluarga inti mengajarkan saya lebih dewasa. Karena dibalik suatu masalah kakak dengan orang tua saya menjadikan saya mengerti peran mereka yang sebelumnya kurang saya rasakan.

3.2Saran

Penting untuk mengetahui sejarah keluarga dan menuliskanya. Kita dapat mengambil pengalaman dari kejadian yang terjadi pada keluarga. Janganlah memandang seseorang dari pekerjaan dan uangnya. Tiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya, yakinlah Tuhan tidak akan membeikan suatu cobaan kepada makhluknya melebihi batas kemampuanya.







DAFTAR RUJUKAN

Tirtarahardja & Sulo, L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sjamsuddin, H. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Skjamsuddin, H. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik

Narasumber:
1.      Nama   : Suti
2.      Nama   : nenek Tariyem
3.      Nama   : nenek Masri
4.      Nama   : nenek Trimah
5.      Nama   : bapak Ngatmin