PENGALAMAN
HIDUP KELUARGA MASA KINI DAN
MASA
KOLONIAL MEMBUAT BAGAIMANA BIJAKSANANYA SESEORANG
Makalah
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pengantar Ilmu Sejarah
yang dibina oleh Ibu Indah W.P. Utami S.Pd M.Hum, M.Pd.
Oleh:
Miftakhul Khassanah
130731615748
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
November 2013
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluarga merupakan bagian
terpenting, tempat pertama dan paling utama untuk belajar, mengerti kasih
sayang, memahami peran, dan mengerti dirinya sendiri. Keluarga pertama kali
membentuk bagaimana kita saat ini. Keluarga juga membentuk karakter kita,
pandangan hidup kita. Tirtarahardja (2005:167) mengatakan Keluarga merupakan
tempat mula-mula tapi terpenting dalam lingkungan pendidikan. Selain itu,
Tirtarahardja (2005:168) juga menuliskan “keluarga merupakan pengelompokan
primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena hubungan semenda dan
sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nucleus family: ayah, ibu, dan anak), ataupun keluarga yang
diperluas (disamping inti, ada orang lain: kakek/nenek, adik/ipar, pembantu,
dll.)”.
Menurut KBBI Keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi
rumah: orang seisi rumah yg menjadi
tanggungan; batih: (kaum
-- ) sanak
saudara; kaum kerabat: satuan kekerabatan yg sangat mendasar di
masyarakat. Namun, banyak orang melupakan sejarah keluarganya
sendiri. Mengingat pentingnya keluarga dan pentingnya mengetahui sejarah
keluarga, untuk itu setiap insan manusia sebaiknya mengetahui bagaimana sejarah
keluarganya. Banyak manfaat mengetahui sejarah keluarga. Misalnya saja
seandainya kita tidak tahu sejarah keluarga, tidak tahu siapa saudara kita.
Saat kita bertemu dengan seseorang dan jatuh cinta kepadanya tanpa mengetahui
sejarah keluarganya. Tapi ternyata dia masih saudara kita. Bagaimana
kelanjutanya kalau sudah terlanjur menikah? Dari gambaran cerita diatas itu
hanya satu gambaran pentingnya mengetahui sejarah keluarga dari silsilah.
Selain itu masih banyak lagi manfaat mengetahui historiografi keluarga. Dari
historiografi keluarga, kita akan dapat memahami peristiwa masa lampau yang
dialami keluarga kita, mengambil pelajaran dari pengalaman itu dan menajdikan
pelajaran bagi kita dan semua orang.
Banyak fungsi, kejadian, peristiwa
yang terjadi pada seseorang terutama penulis yang berasal dari keluarga. Fungsi
keluarga sendiri adalah tempat pertama dan paling utama menerima dan memberi
kasih sayang, perhatian, mengerti bagaimana hidup, dll. Keluarga berpengaruh
besar terhadap bagaimana kita, bagaimana karakter kita, pandangan hidup kita,
bagaimana cara sosialisasi kita, bagaimana mengerti agama. Meskipun banyak
sekali fungsi sejarah keluarga, masih banyak yang belum mengenal sejarah dari
keluarganya. Apalagi sampai menulis sejarah keluarga. Banyak siswa mengetahui
sejarah nasional, sejarah lokal tapi malah tidak tahu sejarah keluarganya.
Banyak manfaat dari penulisan
sejarah keluarga, diantaranya kita dapat belajar dari pengalaman keluarga kita.
Banyak mengetahui peristiwa yang tidak akan terjadi pada masa kita. Kita dapat
lebih bijaksana dengan memandang keluarga dan peristiwa. Dengan mengetahui
peristiwa-peristiwa dalam keluarga, kita akan dapat menarik kesimpulan yang
akan dijadikan pandangan dalam menjalani kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan
masalah yang dibahas dalam makalah ini:
1.
Bagaimana
silsilah keluarga penulis?
2.
Bagaimana
pengalaman nenek dan saudaranya penulis dalam menjalani hidup pada masa
kolonial di Blora?
3.
Bagaiman
perjalanan hidup keluarga inti penulis?
1.3 Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
silsilah keluarga.
2.
Mengetahui
pengalaman nenek dan saudaranya dalam menjalani hidup pada masa kolonial di
Blora.
3.
Mengetahui
perjalanan hidup keluarga inti penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam buku metododologi sejarah yang
ditulis oleh Sjamsuddin (1996) menuliskan metode tersebut terdiri heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi. Namun dalam bukunya juga yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah (1996) langkah pertama adalah pemilihan
subjek untuk diteliti atau dikaji. Heuristik adalah pencarian sumber. Sebelum pencarian sumber, sejarawan
haruslah menetapkan topik atau masalah untuk penelitianya.
Penulisan Historiografi sejarah keluarga ini mungkin belum lengkap. Karena
pencarian sumber data atau informasi (heuristik) yang didapat terbatas hanya
dari ibu saya (Suti), nenek Tariyem, nenek Masri dan nenek Trimah (adik ipar
kakek Citro Kito), dan bapak Ngatmin. Pencarian sumber atau heuristik pertama
kali dilakukan dengan bertanya pada ibu saya (Suti), namun karena keterbatasan
informasi ibu saya mengenai nama-nama dan keterangan, akhirnya saya dianjurkan
bertanya kepada nenek Trimah, nenek Tariyem, dan nenek Masri ikut juga
bercerita saat saya sedang berbicara dengan nenek Tariyem.
Kritik terhadap sumber informasi dilakukan dengan cara membandingkan
cerita-cerita dari sumber informasi (ibu Suti, nenek Trimah, nenek Tariyem,
nenek Masri) dengan pengetahuan penulis dari pelajaran sejarah yang sudah
didapat. Selain itu, penulis juga mencari informasi dari internet. Kemudian
penulis melakukan interpretasi terhadap informasi yang didapat, menafsirkan
cerita-cerita yang diungkapkan sumber. Selanjutnya adalah historiografi atau
yang disebut penulisan. Penulisan makalah ini terdiri dari bab 1 pendahuluan
yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan. Latar belakang terdiri
dari pengertian keluarga, pentingnya keluarga dan pentingnya mengetahui dan
menuliskjan sejarah keluarga. Dalam bab 2 berisi silsilah keluarga penulis,
pengalaman keluarga penulis dalam menjalani hidup masa kolonial Belanda, dan
perjalanan hidup keluarga inti penulis. Dan bab 3 penutup terdiri dari
kesimpulan dan saran.
2.1 Silsilah Keluarga
Seperti diungkapkan diatas, data mengenai silsilah
keluarga mungkin masih belum lengkap. Hanya didapat sedikit informasi dari
canggah dan mungkin lumayan lengkap generasi buyut sampai saya. Nama canggah
pun ada yang masih belum diketahui, ada yang hanya diketahui nama panggilan
saja. Nama asli mudah dilupakan oleh masyarakat desa Sendangwates karena
kebiasaan memanggil tidak dengan nama asli, tapi dengan nama panggilan sesuai
dengan ciri khas yang dimiliki. Misalnya, Mbah Putih (canggah saya dari ayah)
dipanggil Mbah Putih dikarenakan rambutnya yang hampir seluruhnya berwarna
putih. Dan dengan memanggil nama dari anak pertamanya. Seperti misalnya ayah
saya yang nama aslinya Ngatmin atau Ahmad Zulqoni dimasyarakat dipanggil Pak Um
karena anak pertama ayah yaitu kakak saya bernama Um.
Berikut adalah gambar silsilah keluarga berdasarkan patrilinial:

Diatas adalah gambar silsilah
keluarga dari ayah saya. Tariyem dan Samejo mempunyai lima orang anak. Salah
satunya adalah Tarban. Tarban menikah dengan Warijah dan mempunyai dua orang
anak yang bernama Tarmo dan Masri. Kemudian Tarban meninggal, dan sepeninggalanya
Tarban menyebabkan Warijah menikah lagi dengan seorang yang bernama Mujayin.
Pernikahan Warijah dengan Mujayin dikaruniai tiga orang anak yang bernama
Suliyem, Mini, dan Sulemi.
Kakek Tarmo menikah dengan nenek
Tariyem mempunyai empat orang anak. Salah satunya yaitu ayah saya sebagai anak
pertama yang bernama Ngatmin lahir pada 25 Agustus 1969. Namun setelah masuk
disebuah pondok nama ayah saya diganti menjadi Ahmad Zulqoni. Karena sudah
menjadi kebiasaan kalau masuk pondok dan menjadi santri tetap, maka biasanya
nama yang sebelumnya tidak berbau islami akan diganti atau ditambah dengan nama
islami. Ayah saya lahir pada tanggal 25 Agustus 1969. Selanjutnya Nyami adik
perempuan pertama dari ayah saya lahir dan Ngatman adik kedua ayah saya (adik laki-laki
pertama ayah saya) dan yang terakhir Sarmi adik bungsu ayah saya. Namun adik
bungsu ayah saya sekarang sudah meninggal saat usianya yang masih muda. Nenek
Tariyem ditinggal kakek Tarmo dalam usia yang masih belum tua. Namun nenek
Tariyem tetap setia sama kakek Tarmo walaupun sudah ditinggal lama. Buktinya
sampai sekarang nenek Tariyem belum menikah lagi. Dari kehidupan nenek
mengajarkan saya untuk hidup setia walaupun tidak ada orang yang mencukupi
hidupnya.
Silsilah keluarga
berdasarkan sistem matrilinial:

Buyut Jamin dan buyut Mariyem
mempunyai tujuh orang anak seperti gambar silsilah diatas. Hanya nenek Kuswati
yang sampai sekarang masih hidup di desa Kedung Waru Kecamatan Kunduran
Kabupaten Blora. Kakek buyut Jamin
mempunyai dua istri, namun istri yang pertama belum didapatkan informasi
mengenai namanya. Istri yang kedua bernama Mariyem. Mariyem sendiri adalah anak
dari canggah Pilah. Kakek buyut Jamin dengan istri yang pertama mempunyai empat
orang anak yaitu Sukini, Pini, Kuswati dan Kerji. Dan kakek buyut Jamin dengan
istri yang kedua (Mariyem) mempunyai tiga orang anak yaitu salah satunya adalah
nenek saya (Suratno, Lamijan, Kustini). Kakek buyut Jamin berbeda dengan kakek
buyut Tarban. Kakek buyut Tarban mempunyai istri kedua karena ditinggal mati
Warijah, berbeda dengan kakek buyut Jamin. Beliau menikah lagi karena
kekuasaanya sebagai Lurah. Berdasarkan cerita Ibu dan Bapak, buyut Jamin saat
menjadi Lurah memerintah dengan semaunya. Cerita ini juga pernah saya dengar
waktu saya masih SMA dari cerita ibu-ibu (Istri kakek Marno) yang sedang
berkumpul di rumah saya.
Inti perkataan istri kakek Marno setidaknya begini “semua kehidupan nenek
dan keturunanya tidak akan sesusah ini kalau dulu kakek Jamin tidak suka main
perempuan dan menjadi Lurah yang bijaksana”. Namun Ibu tidak pernah menyalahkan
buyut Jamin karena beliau menganggap semua ini adalah kehidupan dan jalan dari
Allah. Kehidupan seperti roda berputar, kadang kita diatas kadang juga kita
dibawah. Ayah pun yakin kalau beliau dapat memenuhi hidup kami sekeluarga
walaupun dengan hidup yang sederhana. Itulah prinsip yang selalu diajarkan
orang tua saya kepada kakak dan juga saya.
2.2 Pengalaman Nenek Dan Saudaranya Dalam Menjalani Hidup Pada Masa Kolonial di Blora
Pengalaman keluarga Kakek Citro Kito dan
nenek Kustini beserta saudaranya (Suratno dan Lamijan) dalam menjalani hidup
masa kolonial Belanda sangatlah sulit dan penuh dengan tantangan. Begitu juga
yang dialami oleh keluarga nenek Tariyem dan saudara-saudara yang lainya.
Sumber informasi mengenai pengalaman keluarga nenek Kustini masa Belanda saya
dapatkan dari nenek Trimah. Awalnya saya bertanya kepada Ibu saya, tapi
kemudian saya disarankan untuk bertanya kepada Nenek Trimah. Karena beliau adalah
saudara sekaligus hidup sezaman dengan kakek dan nenek. Nenek Trimah adalah
saudara dari kakek Citro Kito. Dan kehidupan nenek Tariyem masa kolonial saya
tanya langsung kepada beliau, yang kemudian nenek Masri (saudara nenek Tariyem)
kadang menyambung cerita. Semua keluarga saya adalah asli Blora. Pada waktu
melawan Belanda nenek dan saudaranya berdomisili di Blora. Kita tahu bahwa
Blora terkenal dengan suku Saminnya. Sebagaimana diketahui orang Blora bahkan
orang diluar Blora mengatakan Samin didirikan oleh Samin Surosentiko untuk
melawan Kolonialisme yang ada di Blora. Berdasarkan cerita masyarakat Blora dan
juga diungkapkan sebagian oleh nenek
Trimah, suku Samin mempunyai ajaran aja drengki srei, tukar padu, dahwen kemeren, kutil
jumput, lan mbedhog colong. Artinya, jangan berhati jahat, bertengkar, iri hati, dan
mencuri. Pokok ajaran samin berdasarka cerita nenek saya adalah
tidak mau membayar pajak kepada Belanda. Yang dilakukan dengan cara
menyembunyikan hasil panen kedalam tanah dan tempat tertentu yang dirasa aman.
Ajaran Samin dalam menghadapi Belanda ada juga yang dilakukan dengan
pura-pura gila supaya tidak disuruh kerja paksa Belanda. Sebagaimana dalam
cerita Ibu saya saat menceritakan kakek Lamijan. Usaha nenek saya dan
saudaranya dalam menghindari belanda menyebabkan Suratno, Lamijan, dan Kustini
berpisah untuk mencari kehidupan yang aman sendiri-sendiri. Suratno masih
tinggal ditempat asal yaitu ditempat kalahiranya (Blora). Namun Lamijan pergi
melalang buana karena dikejar-kejar Belanda dan tidak mau berhadapan dengan
Belanda, tidak mau kerja paksa. Lamijan pergi ke Lamongan. Kemudian dalam masa
pelarianya, pernah juga sampai ke Todanan dan diangkat anak oleh warga
setempat. Kakek Lamijan menurut cerita ibu saya pernah juga pulang tanpa berpakaian
pada kala itu (penjajahan Belanda).
Kakek Lamijan kembali lagi ke
Lamongan dan mempunyai istri disana bernama Khotidjah. Dari pernikahanya itu
dikaruniai enam orang anak yang bernama Nur Khotib, Zaini, Bambang, Edi,
Endang, dan Hartini. Kakek Lamijan meninggal tahun 2006 dan dimakamkan di
daerah Paciran, Lamongan.
Nenek Kustini dengan kakek Citro
Kito menikah dan mempunyai tujuh orang anak. Tujuh orang anak itu diantaranya
adalah ibu saya. Tujuh anak tersebut adalah Tinah, Yatmin, Saji, Saidi, Rasmi,
Seti, dan Suti (ibu saya). Suti merupakan anak terakhir dari Kustini dan Citro
kito. Menurut Kartu Keluarga, Suti lahir di Blora, 28 Mei 1975.
Usaha hidup pada masa kolonial
tidaklah mudah. Berdasarkan cerita Ibu saya dari nenek Kustini dahulu sebelum meninggal
untuk dapat makan tidaklah mudah. Hampir tiap saat Belanda meggledahi
rumah-rumah untuk mengambil sumber makanan. Sumber makanan tersebut biasanya
hasil panen. Hal serupa juga diungkapkan oleh nenek Tariyem dan juga nenek
Trimah. Untuk menyembunyikan hasil panen dari Belanda mereka biasanya menimbun
hasil panen kedalam tanah atau tempat yang dirasa aman. Dengan konsekuensi
kalau ketahuan Belanda, siap untuk dihukum bahkan dibunuh kalau tidak mau
menyerahkan upeti kepada Belanda. Hidup mereka serba kekurangan dan makan
seadanya. Karena jumlah anak yang banyak mau tidak mau nenek selau membagi-bagi
makanan supaya kebagi rata.
2.3 Perjalanan Hidup Keluarga Inti Penulis
Diatas adalah silsilah keluarga inti saya, Pada hari Selasa tanggal 15
Pebruari 1992 ayah dan ibu menikah pukul 18.00 dengan wali nikah
Bapak Nasab. Meskipun hanya dengan mas kawin Rp 1000,00 pernikahan orang tua
saya masih langgeng dan harmonis sampai sekarang. Karena cinta mereka karena
Allah, bukan karena semata-mata uang. Pernikahan dilaksanakan di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah sebagaimana
terlampir buku nikah dalam lampiran. Ayah dan ibu melahirkan kakak pada 08
Agustus 1994. Dan melahirkan saya pada tanggal 10 Maret 1996 sebagaimana
terlampir dalam Akta Kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk. Berdasarkan cerita ibu
saya, sungguh pengorbanan ibu saya yang laur biasa karena dalam mengandung
saya, kakak masih rewel. Selain itu, ibu juga sering diejek sama tetangga saat
mengandung saya yang lama dalam kandungan, yaitu sekitar 10 Bulan. Tidak
berhenti sampai melahirkan saja, dalam merawat dan membesarkan kakak dan saya,
kadang ibu kesusahan karena tidak ada yang membantu, karena ayah pergi merantau
mencari uang untuk biaya hidup kami.
Kerja
keras terus berlanjut sampai sekarang. Itu yang membuat saya tidak suka boros
dan rajin menabung karena melihat betapa susahnya ayah untu mencari uang untuk
hidup kami. Ayah dan ibu sekarang kedua-duanya bekerja sebagai petani. Berkat
perantauan ayah, kami dapat membeli sawah untuk kehidupan sehari-hari. Sehingga
ayah tidak perlu untuk merantau jauh dari keluarga. Karena desakan ekonomi ayah
dan ibu saya tidak dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, sekaligus pada zaman
itu orang tua lebih menekankan ilmu agama. Jadi ayah disuruh mondok di sebuah
pesantren. Berdasarkan Kartu Keluarga ayah saya lulusan SMP dan ibu saya
lulusan SD. Walaupun orang tua saya tidak dapat mengenyam pendidikan yang
tinggi, beliau berharap anaknya dapat mengenyam pendidikan sampai sarjana.
Untuk itu, beliau menyekolahkan saya yang saat ini masih sebagai Mahasiswa
Universitas Negeri Malang, Fakultas Ilmu Sosial, Prodi S1 pendidikan Sejarah.
Riwayat
pendidikan saya adalah sebagai berikut:
·
SD N 1 SendangWates selama 6 tahun
·
SMP N 1 Kunduran selama 3 tahun
·
SMA N 1 Ngawen selama 3 tahun, di
jurusan IPA sebagaimana terlampir dalam ajazah.
·
Dan sekarang menempuh kuliah di
Universitas Negeri Malang, Fakultas Ilmu sosial, Prodi S1 Pendidikan Sejarah.
Di Malang ini, saya tinggal disebuah kontrakan kecil
jauh sama keluarga dan saudara. Di sebuah jalan Sumbersari gang 6 no. 51.
Sebuah keanehan memang karena waktu SMA saya masuk jurusan IPA tapi sekarang
memilih Sejarah. Namun itu bukanlah pilihan yang salah. Karena dibalik itu,
saya mulai menemukan hikmah dari kehendak Tuhan dan pilihan saya.
Pernah saya merasakan hari-hari yang penuh dengan
pemandangan kesedihan dan tangisan. Saat kakak pertama kali ketahuan pacaran.
Karena pada saat itu orang tua saya tidak megizinkan anak-anaknya mengenal
pacaran, apalagi masih kelas tiga SMP. Sebagaimana ilmu yang diketahui ayah
saya dari pondoknya dahulu hukum pacaran adalah tidak boleh. Tapi kakak yang
sudah pacaran secara backstreet lumayan lama menyebabkan kakak tidak mau putus
dengan pacarnya. Kakak yang saat itu masih kelas tiga SMP berpacaran dengan
seorang yang berbeda usia 15 tahun dengan kakak dan masih pengangguran. Itu
juga yang menyebabkan kedua orang tua saya tidak setuju. Hampir satu bulan
kakak menjaga jarak dengan kami dan aktifitasnya hanya sekolah dan dikamar
saja. Begitu juga Ibu yang tiap hari hanya merenung dengan mata kemerahan.
Sebuah keputusan yang begitu luar biasa dari nenek
Tariyem yang menginginkan kakak langsung dinikahkan setelah lulus sekolah.
Namun kedua orang tua saya masih keberatan dengan usulan nenek. Karena kedua
orang tua saya menginginkan anak-anaknya sekolah dahulu supaya hidupnya tidak
sesusah mereka. Perbedaan pendapat ini juga menyebabkan hubungan yang kurang
harmonis antara nenek dan kedua orang tua saya. Entah apa yang menyebabkan ayah
saya mulai berpikir mengenai pendapat nenek, yamg kemudian memutuskan
menyetujui usul nenek.
Kakak Nur Azizatul Ummah menikah dengan pacarnya
(Nur Sholikin) pada tahun 2009. Kehidupan yang dijalani kakak tidak sesuram
seperti dalam bayangan Ibu saya. Pernikahan kakak mempunyai putri bernama Silva
Mar’atus Sholikhah pada tanggal 18 Pebruari 2011sekitar jam 11 siang.
Dari kejadian itu membuat saya sekeluarga lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Membuat saya lebih dewasa. Belajar membantu
mengerjakan pekerjaan rumah, yang awalnya tidak pernah saya lakukan. Karena
biasanya yang melakukan adalah Ibu dan kakak saya. Saya juga berusaha tegar
seperti halnya orang dewasa, mencoba menguatkan Ibu dan kakak saya. Mencoba
mencari sebuah solusi yang terbaik untuk masalah keluarga ini. Hal ini pula
yang menyebabkan kedua orang tua saya membolehkan saya berpacaran dengan syarat
dengan usia yang sepantaran. Walaupun tidak dapat dipungkiri masalah ini juga
berdampak dengan prestasi saya di sekolah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mengetahui
sejarah keluarga sangatlah penting. Dari sejarah keluarga kita dapat mengetahui
peristiwa pada zaman dahulu yang tidak akan pernah terjadi pada masa kita.
Dengan mengetahui sejarah keluarga pula kita mendapatkan pengalaman. Dari
pengalaman keluarga dapat dijadikan pelajran bagi kita. Dengan penulisan dapat
juga bermanfaat bagi orang lain.
a) Dari pengalaman hidup keluarga kakek, nenek dan saudaranya mengahadapi
penjajahan Belanda mengajarkan saya untuk saling melindungi sesama keluarga dan
bersabar dalam menjalani hidup.
b) Pengalaman keluarga inti mengajarkan
saya lebih dewasa. Karena dibalik suatu masalah kakak dengan orang tua saya
menjadikan saya mengerti peran mereka yang sebelumnya kurang saya rasakan.
3.2Saran
Penting
untuk mengetahui sejarah keluarga dan menuliskanya. Kita dapat mengambil
pengalaman dari kejadian yang terjadi pada keluarga. Janganlah memandang
seseorang dari pekerjaan dan uangnya. Tiap permasalahan pasti ada jalan
keluarnya, yakinlah Tuhan tidak akan membeikan suatu cobaan kepada makhluknya
melebihi batas kemampuanya.
DAFTAR RUJUKAN
Tirtarahardja & Sulo, L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sjamsuddin, H. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Skjamsuddin, H. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga
Akademik
Narasumber:
1.
Nama : Suti
2.
Nama : nenek Tariyem
3.
Nama : nenek Masri
4.
Nama : nenek Trimah
5.
Nama : bapak Ngatmin
